Jumat, 22 Juni 2012

PERAN SOSIAL PERBANKAN SYARIAH


PERAN SOSIAL PERBANKAN SYARIAH

  BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Bank adalah Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah dari Bank  Umum  Konvensional  termasuk  Unit  Usaha  Syariah  dari kantor cabang dari suatu bank yang berkedudukan di luar negeri.
 Istilah Bank dalam literatur Islam tidak dikenal. Suatu lembaga yang menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali ke masyarakat, dalam literature islam dikenal dengan istilah baitul mal atau baitul tamwil. Istilah lain yang digunakan untuk sebutan Bank Islam adalah Bank Syari'ah. Secara akademik istilah Islam dan syariah berbeda, namun secara teknis untuk penyebutan bank Islam dan Bank Syari'ah mempunyai pengertian yang sama. Dalam dasar hukumnya - Dalam RUU No 10 Tahun 1998 disebutkan bahwa Bank Umum merupakan bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syari'ah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu litas pembayaran. Lebih lanjut dijelaskan bahwa prinsip syari'ah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk menyimpannya, pembiayaan atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syari'ah. Berdasarkan rumusan masalah tersebut, Bank Syari'ah berarti bank yang tata cara operasionalnya didasari dengan tatacara Islam yang mengacu kepada ketentuan alquran dan al hadist. 
Perbankan syariah pertama kali muncul di Mesir tanpa menggunakan embel-embel islam, karena adanya kekhawatiran rezim yang berkuasa saat itu akan melihatnya sebagai gerakan fundamentalis. Pemimpin perintis usaha ini Ahmad El Najjar, mengambil bentuk sebuah bank simpanan yang berbasis profit sharing (pembagian laba) di kota Mit Ghamr pada tahun 1963. Eksperimen ini berlangsung hingga tahun 1967, dan saat itu sudah berdiri 9 bank dengan konsep serupa di Mesir. Bank-bank ini, yang tidak memungut maupun menerima bunga, sebagian besar berinvestasi pada usaha-usaha perdagangan dan industri secara langsung dalam bentuk partnership dan membagi keuntungan yang didapat dengan para penabung. Masih di negara yang sama, pada tahun 1971, Nasir Social bank didirikan dan mendeklarasikan diri sebagai bank komersial bebas bunga. Walaupun dalam akta pendiriannya tidak disebutkan rujukan kepada agama maupun syariat islam.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Bank Syariah
Selama ini, definisi bank syari’ah atau bank Islam adalah bank yang dilandaskan pada nilai-nilai Islam (al-Qur’an, as-sunnah dll). Secara operatif bank syari’ah dijabarkan sebagai bank yang beroperasi dengan tidak mengandalkan pada bunga. Dengan kata lain, bank syariah adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan pembiayaan dan jasa-jasa lainnya dengan prinsip syariat  Islam.
Definisi di atas menyiratkan bahwa pengertian bank syariah ternyata berbeda dengan pengertian bank dalam arti konvensional, dimana bank dalam pengertian yang terakhir ini dibatasi sebagai lembaga perantara keuangan atau biasa disebut financial intermediary. Artinya, lembaga bank adalah lembaga yang dalam aktivitasnya berkaitan dengan masalah uang. Oleh karena itu, usaha bank akan selalu dikaitkan dengan masalah uang yang merupakan media transaksi-transaksi ekonomi. Karena itu, kegiatan dan usaha bank konvensional selalu terkait dengan hal-hal yang persoalan ekonomi, yaitu; memindahkan uang, menerima dan membayarkan kembali uang, mendiskonto surat wesel, surat order maupun surat berharga lainnya, membeli dan menjual surat-surat berharga, memberi jaminan bank.
Pengertian bank syari’ah yang menjadikan sumber-sumber otoritas etika agama Islam (baca; al-Qur’an dan as-Sunnah) sebagai rujukan filosofis dan operasionalnya, membawa konsekuensi bahwa bank syari’ah memiliki tanggungjawab etis untuk mampu menerjemahkan statemen-statemen moral di dalamnya secara operasional. Hal itulah yang terlihat dari produk-produk bank syari’ah selama ini mengacu pada berbagai bentuk transasksi fiqh yang diyakini diformulasikan berdasarkan petunjuk al-Qur’an dan praktek Rasulullah SAW. Baik produk yang menggunakan label fiqh seperti mudharabah. murabahah, musyarakah, rahn, salam dan sebagainya, maupun yang sudah dikemas dalam bentuk transaksi kontemporer seperti profit sharing, profit and loss sharing (PLS) dan sebagainya, diupayakan agar selaras dengan aturan-aturan baku dalam fiqh.
Tanggungjawab etis bank syari’ah juga dapat dilihat dari aspek manajemen yang meneyertakan keterlibatan Dewan Pengawas Syari’ah (DPS) maupun Dewan Syari’ah Nasional (DSN) sebagai pihak yang ditugasi sekaligus memegang otoritas dalam menentukan legalitas produk yang akan dikeluarkan dari aspek syari’ah.
Meskipun demikian, batasan-batasan ideal di atas ternyata belum sepenuhnya diimplementasikan dalam operasional bank syari’ah itu sendiri. Sejauh ini “gugatan”  terhadap bank syari’ah sering kali terdengar, baik yang ditujukan terhadap legalitas akad-akadnya yang dinilai tidak memiliki perbedaan substansial dengan produk bank konvensional, maupun fungsi sosial yang sebenarnya merupakan salah satu bentuk tanggungjawab etisnya. Persoalan terakhir inilah yang pada akhirnya mengantarkan pada sebuah pertanyaan besar; bagaimanakah fungsi sosial bank syari’ah dapat dijalankan?  

B.     Peran Sosial Perbankan Syariah
Bank dalam suatu negara memiliki peran yang sangat penting dalam mewujudkan pertumbuhan pembangunan ekonomi. Fungsi bank adalah sebagai pihak yang menjembatani (lembaga intermediasi) antara pihak yang memiliki kelebihan dana dan pihak yang kekurangan/membutuhkan dana baik untuk modal kerja ataupun konsumsi. Sehingga dapat diharapkan akan terjadi keseimbangan antara sektor moneter dan sektor rill. Tetapi yang terjadi dalam perbankan konvensional fungsi intermediasi ini sering kali tidak berjalan. Hal ini dapat dilihat dari Loan to Deposit Ratio (LDR) bank konvensional yang hanya sekitar 50%-60 %, itu artinya hanya sekitar 50%-60% dana yang terkumpul didapat dari Dana Pihak Ketiga (DPK) disalurkan dalam bentuk kredit ke masyarakat untuk menggerakan sektor rill. Lalu kemana sisanya yang sekitar 40%-50% itu? Ternyata para bankir konvensional itu lebih senang menempatkan dananya ke sektor moneter dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI).
Mereka berpendapat dengan menempatkan dana dalam bentuk SBI tersebut maka dana mereka akan jauh lebih aman jika mereka menyalurkannya dalam bentuk kredit kepada masyarakat karena jika mereka menyalurkannya melalui kredit resiko kredit akan besar, berbeda halnya dengan SBI yang tidak memiliki resiko karena dijamin pemerintah. Pun dengan begitu mereka juga mendapatkan keuntungan dari bunga yang diberikan SBI tersebut tanpa harus bersusah payah untuk mencari nasabah yang mengajukan kredit. Itulah sekilas gambaran para bankir konvensional yang oleh mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla dikatakan sebagai bankir pemalas.
Berbeda halnya dengan perbankan konvensional, perbankan syariah dengan Financing to Deposit Ratio (FDR) lebih dari 100%, yang artinya seluruh dana yang terkumpul yang didapat dari Dana Pihak Ketiga disalurkan melalui produk-produk pembiayaan bank syariah bahkan modal bank syariah itupun ikut tersalurkan. Dengan berbagai produk-produk pembiayaan seperti murabahah, musyarakah, mudharabah, istishna dan ijarah maka perbankan syariah dapat menjalankan fungsinya sebagai lembaga intermediasi dengan baik. Perilaku perbankan syariah yang berbeda dengan perbankan konvensional ini disebabkan juga oleh perbedaan sistem nilai yang dianut oleh keduanya.
Perbankan konvensional hanya mementingkan bagaimana caranya mereka dapat membayar bunga yang dijanjikan kepada nasabah penabung plus keuntungan yang mereka inginkan, entah uang yang mereka himpun disalurkan ke sektor rill atau mereka putar kembali ke pasar uang atau pasar modal (moneter) sehingga sektor rill kurang berkembang. Perbankan syariah memiliki dua prinsip yang harus dipegang yaitu prinsip kehati-hatian dan juga prinsip syariah. Prinsip syariah ini yang juga membedakan bank syariah dengan bank konvensional karena bank konvensional hanya menganut prinsip kehati-hatian. Prinsip inilah yang mengharuskan perbankan syariah harus menyalurkan dana yang mereka himpun dalam bentuk pembiayaan ke sektor rill. Bank syariah dibatasi untuk “bermain-main” dalam pasar uang atau pasar modal kecuali yang telah ada fatwa diperbolehkan oleh Dewan Syariah Nasional seperti pembelian sukuk. Sistem bagi hasil yang dianut oleh perbankan syariah juga memaksa para bankir syariah untuk lebih bekerja dengan cara aktif memberikan pembiayaan. Mereka tidak bisa seperti bankir konvensional yang hanya mengendapkan dana yang berhasil dihimpun dalam SBI. Jika hal itu yang dilakukan maka return yang didapat akan jauh lebih kecil dibandingkan jika mereka menyalurkannya melalui pembiayaan.
Padahal dengan prinsip bagi hasil, bank syariah dituntut untuk menunjukan kinerja yang baik, hal itu dapat dilihat dari keuntungan yang didapat bank syariah, karena jika bank syariah memperoleh keuntungan yang kecil maka bagi hasil yang diberikan kepada nasabah penabung akan kecil pula. Hal itu akan mengakibatkan larinya nasabah penabung bank syariah ke bank konvensional karena nasabah penabung yang menabung di bank syariah tidak hanya mempertimbangkan prinsip syariah (halal dan haram) dalam menabung, tetapi juga return yang ditawarkan bank syariah. Nasabah penabung pun akan membandingkaan bagi hasil yang diberikan bank syariah dengan bunga bank yang diberikan bank konvensional.
Satu lagi yang membedakan antara bank konvnsional dengan bank syariah, sesuai dengan UU No:21 tahun 2008 mengenai perbankan syariah, bank syariah selain menjadi lembaga/perusahaan yang bersifat komersial yang dalam hal ini menghimpun dan menyalurkan dana dengan tujuan memperoleh laba, bank syariah juga bertindak sebagai lembaga sosial/baitul mal atau lembaga yang menghimpun dana berupa zakat, infak dan sedekah untuk kemudian menyalurkannya kepada yang berhak. Dengan ketentuan penyaluran dananya yang sudah ditentukan yaitu delapan asnaf (golongan). Jika kita melihat delapan asnaf ini maka penyaluran dana sosial yang dilakukan bank syariah akan menjangkau orang-orang yang selama ini tidak terjangkau oleh bank konvensional dengan alasan tidak bank-able.
Ini merupakan bukti berjalannya fungsi intermediasi pada perbankan syariah yang dalam perbankan konvensional fungsi ini tidak berjalan secara baik. Dengan segala kelebihan dan kekurangan yang ada mari kita dukung perbankan syariah menjadi motor yang menggerakan tidak hanya pertumbuhan ekonomi tetapi juga pemerataan ekonomi melalui fungsi sosial yang dimiliki.
Bank Syariah dan perbankan Islam umumnya diharuskan memberikan pelayanan sosial kepada masyarakat, baik berupa penerimaan dana zakat, infak, dan sadaqah (ZIS) sekaligus penyaluran dana ZIS tersebut kepada pihak-pihak yang berhak untuk menerimanya dengan cara yang transparan dan bertanggungjawab. Selain sebagai penerima dan penyalur dana ZIS, bank syariah juga memberikan pelayanan sosial melalui dana Qard (pinjaman kebajikan). Pinjaman kebajikan dana Qard ini murni berdasarkan tujuan sosial atau tolong menolong, mekanismenya adalah bank syariah meminjamkan uang tanpa meminta imbalan dalam bentuk apapun.
Selain transaksi Qard (pinjaman kebajikan) tersebut, bank syariah juga memiliki transaksi Salam yang digunakan untuk transaksi dengan mekanisme penyerahan barangnya dilakukan dikemudian hari tetapi pembayarannya dilakukan dimuka pada saat akad. Kedua transaksi tersebut (Qard dan Salam) bagi bank konvensional tentulah sulit dilakukan, karena bagi bank konvensional yang menggunakan prinsip memperdagangkan uang, tentunya sangat rugi jika memberikan uang tanpa imbalan apapun atau memberikan uang yang belum ada barangnya.
Selain fungsi-fungsi tersebut, bank syariah dalam menjalankan usahanya juga memegang beberapa prinsip usaha. Bank syariah dalam melaksanakan kegiatannya menggunakan beberapa prinsip agar bisa mendapatkan kepercayaan masyarakat, prinsip-prinsip tersebut antara lain:
a.       Prinsip Keadilan
Dalam kegiatannya penetapan imbalan atas dasar margin/bagi hasil keuntungan dilakukan atas kesepakatan bersama antara Bank dengan nasabah. Keuntungan dibagi atas dasar kondisi riil sesuai kontribusi dan risiko masing-masing pihak. Bank tidak boleh mendzalimi nasabah dengan menetapkan margin/bagi hasil secara sepihak, demikian pula sebaliknya dengan nasabah.
b.      Prinsip Kemitraan
Posisi nasabah investor (penyimpan dana/penabung), pengguna dana, serta bank sejajar sebagai mitra usaha yang saling bersinergi untuk memperoleh keuntungan. Semuanya memiliki hak, kewajiban, dan beban atas risiko dan keuntungan yang berimbang. Saling menguntungkan dan tidak ada eksploitasi.
c.       Prinsip Universalitas
Bank dalam operasionalnya tidak membedakan suku, agama, ras, dan golongan dalam masyarakat. Hal ini sesuai dengan prinsip Islam sebagai “rahmatan lil alamin”(memberi rahmat pada seluruh penghuni alam). Dengan demikian siapapun dia akan mendapatkan hak pelayanan yang seimbang dari bank syariah.
d.      Prinsip Transparansi
Bank akan memberikan informasi laporan keuangan secara terbuka dan berkesinambungan agar nasabah investor dapat mengetahui kondisi dananya. Bank sangat memegang prinsip keterbukaan antara bank dan nasabah dalam penetapan margin atau bagi hasi, tidak ada asymetric informasi.
Dengan demikian, jelaslah bagi kita bahwa fungsi, metode, serta prinsip yang digunakan oleh bank-bank Islam (bank syariah) dalam melakukan bisnisnya berbeda secara signifikan dari fungsi dan metode yang digunakan oleh bank-bank konvensional.
Apa hubungan bank syari’ah dengan peran sosial?  Pertanyaan demikian sangat mungkin mengemuka jika bank syari’ah dipandang sebagai sebuah lembaga bisnis yang hanya berorientasi pada profit semata. Akan tetapi sebagaimana telah disebutkan di atas, bank syari’ah di samping memiliki kepentingan bisnis, juga mengusung sebuah tanggung jawab etis yang harus di jalankan, terutama yang terkait dengan peran sosialnya.
Mengutip pernyataan Syafi’i Antonio, dalam landasan falsafahnya dinyatakan bahwa perbankan syari’ah ditujukan untuk mencari keridhaan Allah SWT, untuk memperoleh kebajikan di dunia dan akhirat. Oleh karena itu, setiap kegiatan lembaga keuangan yang dikhawatirkan menyimpang dari tuntunan agama harus dihindari, yaitu dengan cara menjauhkan diri dari unsur riba dan menerapkan sistem bagi hasil dan perdagangan. Dengan mengacu pada al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 275 dan an- Nisa ayat 29, maka setiap transaksi kelembagaan syariah harus dilandasi atas dasar sistem bagi hasil dan perdagangan atau transaksinya didasari oleh adanya pertukaran antara uang dengan barang. Akibatnya pada kegiatan mu’amalat berlaku prinsip ada barang/jasa uang dengan barang, sehingga akan mendorong produksi barang/jasa, mendorong kelancaran arus barang/jasa, dapat dihindari adanya penyalahgunaan kredit, spekulasi, dan inflasi. Prinsip utama bank syari’ah adalah harus menuju pada pengembangan kesejahteraan masyarakat yang bermuara kepada kondisi sosial masyarakat yang menentramkan. Itulah sebabnya mengapa salah satu misi bank syariah adalah mengutamakan dana dari golongan menengah dan ritel, memperbesar portofolio pembiayaan untuk skala menengah dan kecil, serta mendorong terwujudnya manajemen zakat, infak, dan sedekah yang lebih efektif sebagai cerminan kepada kepedulian sosial.
Aspek pelayanan dalam perbankan syari’ah merupakan gabungan antara aspek moral dan aspek bisnis. Dalam operasionalnya selalu bertujuan untuk mendapatkan keuntungan dan terbebaskan dari unsur perjudian, garar (ketidakjelasan/manipulasi), dan riba. Oleh karena itu, bank  syariah tidak bebas bertransaksi semaunya, melainkan harus mengintegrasi nilai-nilai moral dengan tindakan-tindakan ekonomi berdasarkan syariah. Uang dan kekayaan hanya sebatas menjadi alat terpadu untuk mencapai kebaikan dalam masyarakat. Sedangkan landasan utama perbankan syariah adalah keyakinan, kebebasan, kejujuran, dan kegigihan untuk meraih sukses, ditunjang faktor-faktor sumber dana, sumber daya manusia, mitra usaha, dan perkembangan teknologi.
Baik landasan falsafah maupun aspek layanan bank syari’ah di atas menjadi nilai lebih yang tidak dimiliki oleh bank konevensional. Namun, pada saat yang bersamaan dikhawatirkan hal tersebut juga menjadi kelemahan yang mencolok manakala tidak diimplementasikan dengan sepenuhnya. Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan jika melihat pada realitas bank syari’ah saat ini. Realitas yang dimaksud adalah kondisi-kondisi riil dimana bank syari’ah; (1) telah mereduksi makna fungsi sosial menjadi peyaluran dana sosial (Zakat, Infak Sadaqah/ ZIS); (2) lebih mementingkan kepentingan jangka pendek dalam bentuk keuntungan materi, tidak ubahnya bank konvensional; (3) lemah dalam aspek sumber daya manusia, dimana SDM yang tersedia kurang atau bahkan tidak mengenal hukum Islam, serta;  (4) minimnya upaya sosialisasi atau pendidikan terhadap masyarakat. Hal ini membawa akibat serius terhadap keberlangsungan masa depan bank syari’ah itu sendiri. Faktanya hingga saat ini masyarakat masih awam tentang perbankan syari’ah, bahkan masyarakat muslim sendiri. Selain itu, selama ini masyarakat yang menjadikan bank syari’ah sebagai pilihan pada dasarnya hanya didorong oleh ikatan emosional sebagai tuntutan moral seorang muslim dan bukan merupakan pilihan rasional. lagi diakibatkan oleh pengabaian fungsi sosial oleh bank syari’ah itu sendiri. Jika dibiarkan berlanjut, bukan tidak mungkin pada saatnya nanti bank syari’ah akan ditinggalkan oleh nasabahnya.
Apa yang mesti dilakukan?  Inilah perntanyaan yang paling penting untuk dijawab. Jika melihat pada beberapa realitas yang dihadapi bank syari’ah di atas, maka setidaknya terdapat sejumlah agenda fungsi sosial yang mesti dilakukan oleh perbankan syari’ah, yaitu;
Pertama, merubah paradigma bisnis, dimana tujuan bisnis perbankan syar’ah tidak semata-mata untuk mengejar profil semata, tetapi juga tetap memperhatikan legalitas (dalam perspektif Islam) terhadap produk-produknya. Namun yang tidak kalah pentingnya adalah merubah citra eklusif  bahwa perbankan syari’ah hanyalah diperuntukkan bagi konsumen muslim. Karena itu, term-term yang kearaban hendaknya diterjemahkan ke dalam istilah yang lebih familier dalam dunia bisnis, tanpa menghilangkan substansinya.
Kedua, melakukan Social education dalam bentuk penyadaran kepada masyarakat bahwa kelebihan perbankan syari’ah tidak hanya diwujudkan dalam minimnya resiko loose yang ditanggung (karena tidak terikat langsung dengan fluktuasi tingkat suku bunga), tetapi juga diwujudkan dalam bentuk pencapaian keuntungan sosial (karena dilandaskan pada standar-standar moral semisal kepercayaan, keadilan, kejujuran dan sebagainya).
Ketiga, mempersiapkan SDM yang menguasai hukum Islam. Sebab, bagaimanapun konsep-konsep produk yang ditawarkan perbankan syari’ah merupakan turunan dari bentuk-bentuk tansaksi dalam hukum Islam. Di samping itu, yang lebih penting adalah dengan dipersiapkannya SDM yang menguasai hukum Islam juga untuk kepentingan menggerser paradigma konvensional.
Keempat, menjalin kerja sama dengan dunia pendidikan, mengingat sampai dengan saat ini perbankan syari’ah masih membutuhkan formulasi baku, terutama bentuk-bentuk produknya. Dan hal tersebut salah satunya menjadi tanggungjawab dunia pendidikan yang bertugas merumuskannya.
Dengan keempat agenda aksi tersebut, paling tidak sasaran yang dapat dicapai adalah merubah wajah perbankan syari’ah dari sekedar perbankan konvensional yang berbaju syari’ah menjadi benar-benar syar’i.














BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dalam Al-Quran (surat Al-Baqarah ayat 275 – 281), Allah SWT telah menegaskan pentingnya tiga pilar perekonomian yang harus dibangun oleh umat dan bangsa ini. Keti­ganya perlu mendapat perhatian yang memadai, karena ia merupakan prasyarat bagi terwujudnya kesejahteraan bangsa. Ketiga pilar tersebut ada­lah al-bai’ (sektor riil), wa harroma ar-ribaa (sektor moneter/keuangan), dan yamhaqullaahu ar-ribaa wa yurbi as-shadaqaat (sektor ZISWAF).
Pertama, sektor riil. Kita menyadari bahwa diantara problematika mendasar yang dihadapi oleh umat dan bangsa ini adalah ketersediaan kes­empatan kerja (employment opportunity) yang masih belum optimal, sehingga mengakibatkan masih tingginya angka pengangguran di negara kita. Penguatan sektor riil ini dapat dilakukan antara lain dengan menumbuhkembangkan semangat berwirausaha masyarakat, melalui penyediaan akses permodalan serta perlindungan terhadap para pelaku usaha.
Kemudian yang kedua adalah sektor keuan­gan. Kita bersyukur kehadirat Allah SWT bahwa peran dan kinerja lembaga keuangan syariah nasional, baik perbankan syariah maupun lem­baga non bank, terus menunjukkan kinerja yang positif. Pertumbuhan bank syariah yang sangat cepat dalam satu dekade terakhir ini menunjuk­kan bahwa kesadaran masyarakat untuk menggu­nakan produk keuangan syariah semakin meningkat dari waktu ke waktu.
Tinggal sekarang bagaimana fungsi sosial dari lembaga keuangan syariah ini bisa kita tingkat­kan, sehingga akan semakin mengokohkan peran lembaga keuangan syariah dalam perekonomian nasional. Fungsi sosial ini merupakan refleksi ke­berpihakan institusi keuangan syariah terhadap kaum dhuafa disamping tugas dan kewajiban pemerintah. Dalam Undang-Undang No 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, pasal 4, ayat (2) disebutkan bahwa Bank Syariah dan UUS dapat menjalankan fungsi sosial dalam bentuk lembaga baitul mal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana social lainnya dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat.
Adapun sektor yang ketiga adalah ZISWAF (zakat, infak, shadaqah dan wakaf). Sektor ini adalah sektor yang menjamin terjadinya aliran kekayaan dari kelompok kaya kepada kelompok miskin, sehingga angka kesenjangan pendapatan dan kemiskinan masyarakat diharapkan dapat di­kurangi.
Sinergi yang dilakukan BAZNAS dengan perbankan syariah memiliki makna yang strategis dalam rangka merealisasikan fungsi sosial per­bankan syariah. Dalam mengimplementasikan fungsi sosial perbankan syariah, cukup banyak program yang sudah berjalan, yang memerlukan dukungan dari perbankan syariah melalui pro­gram “iB Peduli”. Dengan kata lain, tidak perlu memulai semuanya dari nol.
Dengan semangat berbagi dan peduli, perkembangan sistem perbankan syariah ke de­pan diharapkan semakin maju dan kokoh, seh­ingga dapat berperan sebagai penyelamat per­ekonomian nasional. Kemajuan dan kekokohan sistem perbankan syariah tidak hanya tergantung pada kapasitas dan profesionalisme semata, tetapi tidak boleh dilupakan bahwa ada faktor keberka­han yang kita butuhkan. Keberkahan akan diber­ikan Allah SWT antara lain karena kecintaan dan doa kaum mustad’afin terhadap perbankan syariah yang memberi manfaat luas. Rasulullah SAW bersabda. “Kalian akan ditolong Allah, karena doa orang-orang yang lemah di antara kalian.”
Penanda-tanganan MoU tentang Pelaksa­naan Fungsi Sosial Perbankan Syariah melalui Program Perbankan Syariah Peduli (iB Peduli) dengan BAZNAS (Rabu, 25 Mei 2011 di Bank Indonesia), membawa pesan dan amanat kepada kita semua, untuk tidak hanya melihat bisnis perbankan dari kacamata profit dan uang, tetapi juga melihatnya dari kacamata ibadah sosial.
Perhatian dan kepedulian perbankan syariah kepada masyarakat yang tidak mampu dalam konteks aktifitas ekonomi, yakni melalui pro­gram-program “iB Peduli” pada akhirnya akan meningkatkan kapasitas atau volume transaksi ekonomi yang pada gilirannya akan mendukung usaha perbankan itu sendiri. Disitulah terwujud peran perbankan syariah dalam mensejahterakan masyarakat. Wallahu a’lam bisshawab.














BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

v  Syafei, Rachmat. 2000. “Fikih Muamalah”. Bandung: Pusaka Setia
v  Syafi’i, Muhammad Antonia. 2001. “BANK SYARIAH Dari Teori ke Praktek”. Jakarta: Gema Insani Press.





1 komentar:

  1. dafabet legalbet.co.kr - Is it legal in the UK?
    Dafabet legalbet.co.k is licensed 다파벳 by the dafabet UK Gambling Commission under the Companies Act 1992. vua nhà cái Website, dafabet.co.k and more.

    BalasHapus