PERAN SOSIAL PERBANKAN SYARIAH
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bank
adalah Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah dari Bank Umum
Konvensional termasuk Unit
Usaha Syariah dari kantor
cabang dari suatu bank yang berkedudukan di luar negeri.
Istilah
Bank dalam literatur Islam tidak dikenal. Suatu lembaga yang menghimpun dana
dari masyarakat dan menyalurkan kembali ke masyarakat, dalam literature islam
dikenal dengan istilah baitul mal atau baitul tamwil. Istilah lain yang
digunakan untuk sebutan Bank Islam adalah Bank Syari'ah. Secara akademik
istilah Islam dan syariah berbeda, namun secara teknis untuk penyebutan bank
Islam dan Bank Syari'ah mempunyai pengertian yang sama. Dalam dasar hukumnya -
Dalam RUU No 10 Tahun 1998 disebutkan bahwa Bank Umum merupakan bank yang
melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip
syari'ah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu litas pembayaran.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa prinsip syari'ah adalah aturan perjanjian berdasarkan
hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk menyimpannya, pembiayaan atau
kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syari'ah. Berdasarkan rumusan
masalah tersebut, Bank Syari'ah berarti bank yang tata cara operasionalnya
didasari dengan tatacara Islam yang mengacu kepada ketentuan alquran dan al
hadist.
Perbankan
syariah pertama kali muncul di Mesir tanpa menggunakan embel-embel islam,
karena adanya kekhawatiran rezim yang berkuasa saat itu akan melihatnya sebagai
gerakan fundamentalis. Pemimpin perintis usaha ini Ahmad El Najjar, mengambil
bentuk sebuah bank simpanan yang berbasis profit sharing (pembagian laba) di
kota Mit Ghamr pada tahun 1963. Eksperimen ini berlangsung hingga tahun 1967,
dan saat itu sudah berdiri 9 bank dengan konsep serupa di Mesir. Bank-bank ini,
yang tidak memungut maupun menerima bunga, sebagian besar berinvestasi pada
usaha-usaha perdagangan dan industri secara langsung dalam bentuk partnership
dan membagi keuntungan yang didapat dengan para penabung. Masih di negara yang
sama, pada tahun 1971, Nasir Social bank didirikan dan mendeklarasikan diri
sebagai bank komersial bebas bunga. Walaupun dalam akta pendiriannya tidak
disebutkan rujukan kepada agama maupun syariat islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Bank
Syariah
Selama ini, definisi bank syari’ah atau bank Islam adalah bank yang
dilandaskan pada nilai-nilai Islam (al-Qur’an, as-sunnah dll). Secara operatif
bank syari’ah dijabarkan sebagai bank yang beroperasi dengan tidak mengandalkan
pada bunga. Dengan kata lain, bank syariah adalah lembaga keuangan yang usaha
pokoknya memberikan pembiayaan dan jasa-jasa lainnya dengan prinsip
syariat Islam.
Definisi di atas menyiratkan
bahwa pengertian bank syariah ternyata berbeda dengan pengertian bank dalam
arti konvensional, dimana bank dalam pengertian yang terakhir ini dibatasi
sebagai lembaga perantara keuangan atau biasa disebut financial intermediary.
Artinya, lembaga bank adalah lembaga yang dalam aktivitasnya berkaitan dengan
masalah uang. Oleh karena itu, usaha bank akan selalu dikaitkan dengan masalah
uang yang merupakan media transaksi-transaksi ekonomi. Karena itu, kegiatan dan
usaha bank konvensional selalu terkait dengan hal-hal yang persoalan ekonomi,
yaitu; memindahkan
uang, menerima dan membayarkan kembali
uang, mendiskonto
surat wesel, surat order maupun surat berharga lainnya, membeli dan menjual
surat-surat berharga, memberi jaminan bank.
Pengertian bank syari’ah yang menjadikan sumber-sumber otoritas etika agama
Islam (baca; al-Qur’an dan as-Sunnah) sebagai rujukan filosofis dan
operasionalnya, membawa konsekuensi bahwa bank syari’ah memiliki tanggungjawab
etis untuk mampu menerjemahkan statemen-statemen moral di dalamnya secara
operasional. Hal itulah yang terlihat dari produk-produk bank syari’ah selama ini
mengacu pada berbagai bentuk transasksi fiqh yang diyakini
diformulasikan berdasarkan petunjuk al-Qur’an dan praktek Rasulullah SAW. Baik
produk yang menggunakan label fiqh seperti mudharabah. murabahah,
musyarakah, rahn, salam dan sebagainya, maupun yang sudah dikemas dalam
bentuk transaksi kontemporer seperti profit sharing, profit and loss sharing
(PLS) dan sebagainya, diupayakan agar selaras dengan aturan-aturan baku
dalam fiqh.
Tanggungjawab etis bank syari’ah juga dapat dilihat dari aspek manajemen
yang meneyertakan keterlibatan Dewan Pengawas Syari’ah (DPS) maupun Dewan
Syari’ah Nasional (DSN) sebagai pihak yang ditugasi sekaligus memegang otoritas
dalam menentukan legalitas produk yang akan dikeluarkan dari aspek syari’ah.
Meskipun demikian, batasan-batasan ideal di atas ternyata belum sepenuhnya
diimplementasikan dalam operasional bank syari’ah itu sendiri. Sejauh ini
“gugatan” terhadap bank syari’ah sering kali terdengar, baik yang
ditujukan terhadap legalitas akad-akadnya yang dinilai tidak memiliki perbedaan
substansial dengan produk bank konvensional, maupun fungsi sosial yang
sebenarnya merupakan salah satu bentuk tanggungjawab etisnya. Persoalan
terakhir inilah yang pada akhirnya mengantarkan pada sebuah pertanyaan besar;
bagaimanakah fungsi sosial bank syari’ah dapat dijalankan?
B.
Peran Sosial
Perbankan Syariah
Bank dalam suatu negara memiliki peran yang sangat
penting dalam mewujudkan pertumbuhan pembangunan ekonomi. Fungsi bank adalah
sebagai pihak yang menjembatani (lembaga intermediasi) antara pihak yang
memiliki kelebihan dana dan pihak yang kekurangan/membutuhkan dana baik untuk
modal kerja ataupun konsumsi. Sehingga dapat diharapkan akan terjadi
keseimbangan antara sektor moneter dan sektor rill. Tetapi yang terjadi dalam
perbankan konvensional fungsi intermediasi ini sering kali tidak berjalan. Hal
ini dapat dilihat dari Loan to Deposit Ratio (LDR) bank konvensional
yang hanya sekitar 50%-60 %, itu artinya hanya sekitar 50%-60% dana yang
terkumpul didapat dari Dana Pihak Ketiga (DPK) disalurkan dalam bentuk kredit
ke masyarakat untuk menggerakan sektor rill. Lalu kemana sisanya yang sekitar
40%-50% itu? Ternyata para bankir konvensional itu lebih senang menempatkan
dananya ke sektor moneter dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI).
Mereka berpendapat dengan menempatkan dana dalam
bentuk SBI tersebut maka dana mereka akan jauh lebih aman jika mereka
menyalurkannya dalam bentuk kredit kepada masyarakat karena jika mereka
menyalurkannya melalui kredit resiko kredit akan besar, berbeda halnya dengan
SBI yang tidak memiliki resiko karena dijamin pemerintah. Pun dengan begitu
mereka juga mendapatkan keuntungan dari bunga yang diberikan SBI tersebut tanpa
harus bersusah payah untuk mencari nasabah yang mengajukan kredit. Itulah
sekilas gambaran para bankir konvensional yang oleh mantan Wakil Presiden Jusuf
Kalla dikatakan sebagai bankir pemalas.
Berbeda halnya dengan perbankan konvensional,
perbankan syariah dengan Financing to Deposit Ratio (FDR) lebih dari
100%, yang artinya seluruh dana yang terkumpul yang didapat dari Dana Pihak
Ketiga disalurkan melalui produk-produk pembiayaan bank syariah bahkan modal
bank syariah itupun ikut tersalurkan. Dengan berbagai produk-produk pembiayaan
seperti murabahah, musyarakah, mudharabah, istishna dan ijarah maka perbankan
syariah dapat menjalankan fungsinya sebagai lembaga intermediasi dengan baik.
Perilaku perbankan syariah yang berbeda dengan perbankan konvensional ini
disebabkan juga oleh perbedaan sistem nilai yang dianut oleh keduanya.
Perbankan konvensional hanya mementingkan bagaimana
caranya mereka dapat membayar bunga yang dijanjikan kepada nasabah penabung
plus keuntungan yang mereka inginkan, entah uang yang mereka himpun disalurkan
ke sektor rill atau mereka putar kembali ke pasar uang atau pasar modal
(moneter) sehingga sektor rill kurang berkembang. Perbankan syariah memiliki
dua prinsip yang harus dipegang yaitu prinsip kehati-hatian dan juga prinsip
syariah. Prinsip syariah ini yang juga membedakan bank syariah dengan bank
konvensional karena bank konvensional hanya menganut prinsip kehati-hatian.
Prinsip inilah yang mengharuskan perbankan syariah harus menyalurkan dana yang
mereka himpun dalam bentuk pembiayaan ke sektor rill. Bank syariah dibatasi
untuk “bermain-main” dalam pasar uang atau pasar modal kecuali yang telah ada
fatwa diperbolehkan oleh Dewan Syariah Nasional seperti pembelian sukuk. Sistem
bagi hasil yang dianut oleh perbankan syariah juga memaksa para bankir syariah
untuk lebih bekerja dengan cara aktif memberikan pembiayaan. Mereka tidak bisa
seperti bankir konvensional yang hanya mengendapkan dana yang berhasil dihimpun
dalam SBI. Jika hal itu yang dilakukan maka return yang didapat akan
jauh lebih kecil dibandingkan jika mereka menyalurkannya melalui pembiayaan.
Padahal dengan prinsip bagi hasil, bank syariah
dituntut untuk menunjukan kinerja yang baik, hal itu dapat dilihat dari
keuntungan yang didapat bank syariah, karena jika bank syariah memperoleh
keuntungan yang kecil maka bagi hasil yang diberikan kepada nasabah penabung
akan kecil pula. Hal itu akan mengakibatkan larinya nasabah penabung bank
syariah ke bank konvensional karena nasabah penabung yang menabung di bank
syariah tidak hanya mempertimbangkan prinsip syariah (halal dan haram) dalam
menabung, tetapi juga return yang ditawarkan bank syariah. Nasabah penabung pun
akan membandingkaan bagi hasil yang diberikan bank syariah dengan bunga bank
yang diberikan bank konvensional.
Satu lagi yang membedakan antara bank konvnsional
dengan bank syariah, sesuai dengan UU No:21 tahun 2008 mengenai perbankan
syariah, bank syariah selain menjadi lembaga/perusahaan yang bersifat komersial
yang dalam hal ini menghimpun dan menyalurkan dana dengan tujuan memperoleh
laba, bank syariah juga bertindak sebagai lembaga sosial/baitul mal atau
lembaga yang menghimpun dana berupa zakat, infak dan sedekah untuk kemudian
menyalurkannya kepada yang berhak. Dengan ketentuan penyaluran dananya yang
sudah ditentukan yaitu delapan asnaf (golongan). Jika kita melihat delapan
asnaf ini maka penyaluran dana sosial yang dilakukan bank syariah akan
menjangkau orang-orang yang selama ini tidak terjangkau oleh bank konvensional
dengan alasan tidak bank-able.
Ini merupakan bukti berjalannya fungsi intermediasi
pada perbankan syariah yang dalam perbankan konvensional fungsi ini tidak
berjalan secara baik. Dengan segala kelebihan dan kekurangan yang ada mari kita
dukung perbankan syariah menjadi motor yang menggerakan tidak hanya pertumbuhan
ekonomi tetapi juga pemerataan ekonomi melalui fungsi sosial yang dimiliki.
Bank Syariah dan
perbankan Islam umumnya diharuskan memberikan pelayanan sosial kepada
masyarakat, baik berupa penerimaan dana zakat, infak, dan sadaqah (ZIS)
sekaligus penyaluran dana ZIS tersebut kepada pihak-pihak yang berhak untuk
menerimanya dengan cara yang transparan dan bertanggungjawab. Selain sebagai
penerima dan penyalur dana ZIS, bank syariah juga memberikan pelayanan sosial
melalui dana Qard (pinjaman kebajikan). Pinjaman kebajikan dana Qard ini murni
berdasarkan tujuan sosial atau tolong menolong, mekanismenya adalah bank
syariah meminjamkan uang tanpa meminta imbalan dalam bentuk apapun.
Selain transaksi Qard
(pinjaman kebajikan) tersebut, bank syariah juga memiliki transaksi Salam yang
digunakan untuk transaksi dengan mekanisme penyerahan barangnya dilakukan
dikemudian hari tetapi pembayarannya dilakukan dimuka pada saat akad. Kedua
transaksi tersebut (Qard dan Salam) bagi bank konvensional tentulah sulit
dilakukan, karena bagi bank konvensional yang menggunakan prinsip
memperdagangkan uang, tentunya sangat rugi jika memberikan uang tanpa imbalan
apapun atau memberikan uang yang belum ada barangnya.
Selain fungsi-fungsi
tersebut, bank syariah dalam menjalankan usahanya juga memegang beberapa
prinsip usaha. Bank syariah dalam melaksanakan kegiatannya menggunakan beberapa
prinsip agar bisa mendapatkan kepercayaan masyarakat, prinsip-prinsip tersebut
antara lain:
a.
Prinsip Keadilan
Dalam kegiatannya penetapan imbalan atas dasar margin/bagi hasil keuntungan
dilakukan atas kesepakatan bersama antara Bank dengan nasabah. Keuntungan
dibagi atas dasar kondisi riil sesuai kontribusi dan risiko masing-masing
pihak. Bank tidak boleh mendzalimi nasabah dengan menetapkan margin/bagi hasil
secara sepihak, demikian pula sebaliknya dengan nasabah.
b.
Prinsip Kemitraan
Posisi nasabah investor (penyimpan dana/penabung), pengguna dana, serta
bank sejajar sebagai mitra usaha yang saling bersinergi untuk memperoleh
keuntungan. Semuanya memiliki hak, kewajiban, dan beban atas risiko dan
keuntungan yang berimbang. Saling menguntungkan dan tidak ada eksploitasi.
c.
Prinsip Universalitas
Bank dalam operasionalnya tidak membedakan suku, agama, ras, dan golongan
dalam masyarakat. Hal ini sesuai dengan prinsip Islam sebagai “rahmatan
lil alamin”(memberi rahmat pada seluruh penghuni alam). Dengan demikian
siapapun dia akan mendapatkan hak pelayanan yang seimbang dari bank syariah.
d.
Prinsip Transparansi
Bank akan memberikan
informasi laporan keuangan secara terbuka dan berkesinambungan agar nasabah
investor dapat mengetahui kondisi dananya. Bank sangat memegang prinsip
keterbukaan antara bank dan nasabah dalam penetapan margin atau bagi hasi,
tidak ada asymetric informasi.
Dengan demikian, jelaslah bagi kita bahwa fungsi,
metode, serta prinsip yang digunakan oleh bank-bank Islam (bank syariah) dalam
melakukan bisnisnya berbeda secara signifikan dari fungsi dan metode yang
digunakan oleh bank-bank konvensional.
Apa hubungan bank syari’ah dengan peran sosial?
Pertanyaan demikian sangat mungkin mengemuka jika bank syari’ah dipandang
sebagai sebuah lembaga bisnis yang hanya berorientasi pada profit
semata. Akan tetapi sebagaimana telah disebutkan di atas, bank syari’ah di
samping memiliki kepentingan bisnis, juga mengusung sebuah tanggung jawab etis
yang harus di jalankan, terutama yang terkait dengan peran sosialnya.
Mengutip pernyataan Syafi’i
Antonio, dalam landasan falsafahnya dinyatakan bahwa perbankan syari’ah
ditujukan untuk mencari keridhaan Allah SWT, untuk memperoleh kebajikan di
dunia dan akhirat. Oleh karena itu, setiap kegiatan lembaga keuangan yang
dikhawatirkan menyimpang dari tuntunan agama harus dihindari, yaitu dengan cara
menjauhkan diri dari unsur riba dan menerapkan sistem bagi hasil dan
perdagangan. Dengan mengacu pada al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 275 dan an-
Nisa ayat 29, maka setiap transaksi kelembagaan syariah harus dilandasi atas
dasar sistem bagi hasil dan perdagangan atau transaksinya didasari oleh adanya
pertukaran antara uang dengan barang. Akibatnya pada kegiatan mu’amalat berlaku
prinsip ada barang/jasa uang dengan barang, sehingga akan mendorong produksi
barang/jasa, mendorong kelancaran arus barang/jasa, dapat dihindari adanya
penyalahgunaan kredit, spekulasi, dan inflasi. Prinsip utama bank syari’ah
adalah harus menuju pada pengembangan kesejahteraan masyarakat yang bermuara
kepada kondisi sosial masyarakat yang menentramkan. Itulah sebabnya mengapa
salah satu misi bank syariah adalah mengutamakan dana dari golongan menengah
dan ritel, memperbesar portofolio pembiayaan untuk skala menengah dan kecil,
serta mendorong terwujudnya manajemen zakat, infak, dan sedekah yang lebih
efektif sebagai cerminan kepada kepedulian sosial.
Aspek pelayanan dalam perbankan
syari’ah merupakan gabungan antara aspek moral dan aspek bisnis. Dalam
operasionalnya selalu bertujuan untuk mendapatkan keuntungan dan terbebaskan
dari unsur perjudian, garar (ketidakjelasan/manipulasi), dan riba. Oleh
karena itu, bank syariah tidak bebas bertransaksi semaunya, melainkan
harus mengintegrasi nilai-nilai moral dengan tindakan-tindakan ekonomi
berdasarkan syariah. Uang dan kekayaan hanya sebatas menjadi alat terpadu untuk
mencapai kebaikan dalam masyarakat. Sedangkan landasan utama perbankan syariah
adalah keyakinan, kebebasan, kejujuran, dan kegigihan untuk meraih sukses,
ditunjang faktor-faktor sumber dana, sumber daya manusia, mitra usaha, dan
perkembangan teknologi.
Baik landasan falsafah maupun
aspek layanan bank syari’ah di atas menjadi nilai lebih yang tidak dimiliki
oleh bank konevensional. Namun, pada saat yang bersamaan dikhawatirkan hal
tersebut juga menjadi kelemahan yang mencolok manakala tidak diimplementasikan
dengan sepenuhnya. Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan jika melihat pada
realitas bank syari’ah saat ini. Realitas yang dimaksud adalah kondisi-kondisi
riil dimana bank syari’ah; (1) telah mereduksi makna fungsi sosial menjadi
peyaluran dana sosial (Zakat, Infak Sadaqah/ ZIS); (2) lebih mementingkan
kepentingan jangka pendek dalam bentuk keuntungan materi, tidak ubahnya bank
konvensional; (3) lemah dalam aspek sumber daya manusia, dimana SDM yang
tersedia kurang atau bahkan tidak mengenal hukum Islam, serta; (4)
minimnya upaya sosialisasi atau pendidikan terhadap masyarakat. Hal ini membawa
akibat serius terhadap keberlangsungan masa depan bank syari’ah itu sendiri.
Faktanya hingga saat ini masyarakat masih awam tentang perbankan
syari’ah, bahkan masyarakat muslim sendiri. Selain itu, selama ini masyarakat
yang menjadikan bank syari’ah sebagai pilihan pada dasarnya hanya didorong oleh
ikatan emosional sebagai tuntutan moral seorang muslim dan bukan merupakan
pilihan rasional. lagi diakibatkan oleh pengabaian
fungsi sosial oleh bank syari’ah itu sendiri. Jika dibiarkan berlanjut, bukan
tidak mungkin pada saatnya nanti bank syari’ah akan ditinggalkan oleh
nasabahnya.
Apa yang mesti dilakukan?
Inilah perntanyaan yang paling penting untuk dijawab. Jika melihat pada
beberapa realitas yang dihadapi bank syari’ah di atas, maka setidaknya terdapat
sejumlah agenda fungsi sosial yang mesti dilakukan oleh perbankan syari’ah,
yaitu;
Pertama, merubah paradigma bisnis, dimana tujuan bisnis
perbankan syar’ah tidak semata-mata untuk mengejar profil semata, tetapi juga
tetap memperhatikan legalitas (dalam perspektif Islam) terhadap
produk-produknya. Namun yang tidak kalah pentingnya adalah merubah citra
eklusif bahwa perbankan syari’ah hanyalah diperuntukkan bagi konsumen
muslim. Karena itu, term-term yang kearaban hendaknya diterjemahkan ke dalam
istilah yang lebih familier dalam dunia bisnis, tanpa menghilangkan
substansinya.
Kedua, melakukan Social education dalam bentuk
penyadaran kepada masyarakat bahwa kelebihan perbankan syari’ah tidak hanya
diwujudkan dalam minimnya resiko loose yang ditanggung (karena tidak
terikat langsung dengan fluktuasi tingkat suku bunga), tetapi juga diwujudkan
dalam bentuk pencapaian keuntungan sosial (karena dilandaskan pada standar-standar
moral semisal kepercayaan, keadilan, kejujuran dan sebagainya).
Ketiga, mempersiapkan SDM yang menguasai hukum Islam. Sebab, bagaimanapun
konsep-konsep produk yang ditawarkan perbankan syari’ah merupakan turunan dari
bentuk-bentuk tansaksi dalam hukum Islam. Di samping itu, yang lebih penting
adalah dengan dipersiapkannya SDM yang menguasai hukum Islam juga untuk
kepentingan menggerser paradigma konvensional.
Keempat, menjalin kerja sama dengan dunia pendidikan, mengingat
sampai dengan saat ini perbankan syari’ah masih membutuhkan formulasi baku,
terutama bentuk-bentuk produknya. Dan hal tersebut salah satunya menjadi
tanggungjawab dunia pendidikan yang bertugas merumuskannya.
Dengan keempat agenda aksi
tersebut, paling tidak sasaran yang dapat dicapai adalah merubah wajah
perbankan syari’ah dari sekedar perbankan konvensional yang berbaju syari’ah
menjadi benar-benar syar’i.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dalam Al-Quran (surat Al-Baqarah ayat 275 – 281),
Allah SWT telah menegaskan pentingnya tiga pilar perekonomian yang harus
dibangun oleh umat dan bangsa ini. Ketiganya perlu mendapat perhatian yang
memadai, karena ia merupakan prasyarat bagi terwujudnya kesejahteraan bangsa.
Ketiga pilar tersebut adalah al-bai’ (sektor riil), wa
harroma ar-ribaa (sektor
moneter/keuangan), dan yamhaqullaahu ar-ribaa wa yurbi
as-shadaqaat (sektor
ZISWAF).
Pertama, sektor riil. Kita menyadari bahwa diantara
problematika mendasar yang dihadapi oleh umat dan bangsa ini adalah
ketersediaan kesempatan kerja (employment opportunity) yang masih belum optimal,
sehingga mengakibatkan masih tingginya angka pengangguran di negara kita.
Penguatan sektor riil ini dapat dilakukan antara lain dengan menumbuhkembangkan
semangat berwirausaha masyarakat, melalui penyediaan akses permodalan serta
perlindungan terhadap para pelaku usaha.
Kemudian yang kedua adalah sektor keuangan. Kita
bersyukur kehadirat Allah SWT bahwa peran dan kinerja lembaga keuangan syariah
nasional, baik perbankan syariah maupun lembaga non bank, terus menunjukkan
kinerja yang positif. Pertumbuhan bank syariah yang sangat cepat dalam satu
dekade terakhir ini menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat untuk menggunakan
produk keuangan syariah semakin meningkat dari waktu ke waktu.
Tinggal sekarang bagaimana fungsi sosial dari
lembaga keuangan syariah ini bisa kita tingkatkan, sehingga akan semakin
mengokohkan peran lembaga keuangan syariah dalam perekonomian nasional. Fungsi
sosial ini merupakan refleksi keberpihakan institusi keuangan syariah terhadap
kaum dhuafa disamping tugas dan kewajiban pemerintah. Dalam Undang-Undang No 21
Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, pasal 4, ayat (2) disebutkan bahwa Bank
Syariah dan UUS dapat menjalankan fungsi sosial dalam bentuk lembaga baitul
mal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah, atau
dana social lainnya dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat.
Adapun sektor yang ketiga adalah ZISWAF (zakat,
infak, shadaqah dan wakaf). Sektor ini adalah sektor yang menjamin terjadinya
aliran kekayaan dari kelompok kaya kepada kelompok miskin, sehingga angka
kesenjangan pendapatan dan kemiskinan masyarakat diharapkan dapat dikurangi.
Sinergi yang dilakukan BAZNAS dengan perbankan
syariah memiliki makna yang strategis dalam rangka merealisasikan fungsi sosial
perbankan syariah. Dalam mengimplementasikan fungsi sosial perbankan syariah,
cukup banyak program yang sudah berjalan, yang memerlukan dukungan dari
perbankan syariah melalui program “iB Peduli”. Dengan kata lain, tidak perlu
memulai semuanya dari nol.
Dengan semangat berbagi dan peduli, perkembangan
sistem perbankan syariah ke depan diharapkan semakin maju dan kokoh, sehingga
dapat berperan sebagai penyelamat perekonomian nasional. Kemajuan dan
kekokohan sistem perbankan syariah tidak hanya tergantung pada kapasitas dan
profesionalisme semata, tetapi tidak boleh dilupakan bahwa ada faktor keberkahan
yang kita butuhkan. Keberkahan akan diberikan Allah SWT antara lain karena
kecintaan dan doa kaum mustad’afin terhadap perbankan syariah yang memberi
manfaat luas. Rasulullah SAW bersabda. “Kalian akan ditolong Allah, karena doa
orang-orang yang lemah di antara kalian.”
Penanda-tanganan MoU tentang Pelaksanaan Fungsi
Sosial Perbankan Syariah melalui Program Perbankan Syariah Peduli (iB Peduli)
dengan BAZNAS (Rabu, 25 Mei 2011 di Bank Indonesia), membawa pesan dan amanat
kepada kita semua, untuk tidak hanya melihat bisnis perbankan dari kacamata
profit dan uang, tetapi juga melihatnya dari kacamata ibadah sosial.
Perhatian dan kepedulian perbankan syariah kepada
masyarakat yang tidak mampu dalam konteks aktifitas ekonomi, yakni melalui program-program
“iB Peduli” pada akhirnya akan meningkatkan kapasitas atau volume transaksi
ekonomi yang pada gilirannya akan mendukung usaha perbankan itu sendiri.
Disitulah terwujud peran perbankan syariah dalam mensejahterakan masyarakat. Wallahu
a’lam bisshawab.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
v Syafei,
Rachmat. 2000. “Fikih Muamalah”. Bandung: Pusaka Setia
v Syafi’i,
Muhammad Antonia. 2001. “BANK SYARIAH Dari Teori ke Praktek”. Jakarta: Gema
Insani Press.
dafabet legalbet.co.kr - Is it legal in the UK?
BalasHapusDafabet legalbet.co.k is licensed 다파벳 by the dafabet UK Gambling Commission under the Companies Act 1992. vua nhà cái Website, dafabet.co.k and more.